Pro Kontra Kata ‘Sayyidina’ dalam Shalawat

PENGERTIAN SAYYID

Dijelaskan dalam kitab “Ghoytsus Sahabah” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah halaman 39, bahwa: “Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna orang yang diikuti di kaumnya, orang yang banyak pengikutnya, dan  orang yang mulia di antara relasinya.”

Sementara pada halaman 37 disebutkan: “Sayyid adalah orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan menunjukkan tinggi pangkatnya”.

Sedangkan di dalam Kitab “Ghoyatul Muna” halaman 32, Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah menyebutkan: “Sayyid ialah orang yang memimpin kaumnya atau yang banyak pengikutnya.” Dan masih banyak lagi makna lainnya.

DALIL ULAMA YANG MENAMBAH KAYA SAYYID

Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan: “Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun”. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim)

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu:

“Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaitkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.

Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina. Hadits Abu Sa’id, berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.” (HR. Turmidzi)

Dalam hadits yang lain disebutkan :

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن عبد الله الزبيري ثنا يزيد بن مردانية قال حدثنا بن أبي نعم عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Az Zubairi yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Mardaniyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Nu’m dari Abi Sa’id Al Khudri yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Al Hasan dan Al Husain Sayyid [Pemimpin] Pemuda Ahli Surga.” (Musnad Ahmad 3/3 no 11012)

 Hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Sa’id adalah Abdurrahman bin Abi Nu’m, Atha’ bin Yasar, Athiyah Al Aufy. Berikut jalan yang shahih dari Abu Sa’id yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 3/3 no 11012 dan Fadhail Ash Shahabah no 1384

Hadis ini sanadnya shahih para perawinya tsiqat. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad telah menyatakan bahwa sanadnya shahih para perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim kecuali Yazid bin Mardaniyah perawi Nasa’i yang tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya.

Dalam redaksi yang berbeda namun dengan makna yang sama disebutkan,

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : أنا سيّد ولد آدم يوم القيامة ولافخر وبيدي لواءالحمد ولافخر, وما من نبيّ يومئذ آدم فمن سواه إلاّ تحت لوآئى وأنا اول من تنشقّ عنه الأرض ولافخر وأنا اول شافع واول مشفّع ولافخر : رواه أحمد

 “Dari abi sa’id Al-khudri radliallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; aku adalah penghulu (Sayyid) anak adam di hari kiamat tanpa membanggakan diri, dan di tanganku terletak panji pujian tanpa membanggakan diri,tiada seorang nabi pun di hari tersebut mulai dari nabi adam hingga Nabi-nabi lainnya kecuali berada di bawah panjiku aku adalah orang pertama yang bumi terbelah karna aku keluar dari dalamnya tanpa membanggakan diri,dan aku adalah orang pertama yang dapat memberi syafaat serta aku adalah orang pertama yang diperbolehkan memberi syafaat tanpa  membanggakan diri.” (HR.Imam Ahmad)

 Hadits yang sama namun dari riwayat yang berbeda disebutkan,

حَدَّثَنَا مُجَاهِدُ بْنُ مُوسَى وَأَبُو إِسْحَقَ الْهَرَوِيُّ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاتِمٍ قَالَا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَنْبَأَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ الْأَرْضُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ وَلَا فَخْرَ وَلِوَاءُ الْحَمْدِ بِيَدِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ

“Telah menceritakan kepada kami Mujahid bin Musa dan Abu Ishaq Al Harawi Ibrahim bin Abdullah bin Hatim keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah memberitakan kepada kami Ali bin Zaid bin Jud’an dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’id dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya adalah pemuka (Sayyid) anak Adam dan tidak sombong. Aku adalah orang yang pertama kali di bukakan bumi (dibangkitkan) pada hari Kiamat, dan tidak sombong. Aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan di mintai syafa’at dan tidak sombong. Bendera pujian ada di tanganku pada hari Kiamat dan tidak sombong.” (Hadits Sunan Ibnu Majah Nomor 4298, Tirmidziy Nomor 3614 5/548, dan Ahmad Nomor 3/2)

 Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjuluki dirinya sebagai pemimpin seluruh alam (makhluq),

انــأ سيـــد العالمين

  “Aku adalah pemimpin alam”

 Imam Baihaqi juga meriwayakan sebuah hadits,

قال البيهقى : قوموا لى سـيـدكم

Pada hadits ini Imam Khottobi berkomentar : tidak apa-apa mengatakan Sayyid untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada orang tercela.

Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan kaki halaman 4 nomor 2, dikatakan bahwa: “Memutlakkan kata Sayyid pada selain Allah itu boleh”.

Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: “Disunnahkan mengucapkan Sayyid karena Ziyadah Ikhbar Waqi’ itu menunjukkan tata krama dan itu lebih baik dari meninggalkannya”.

Dengan demikian penggunaan dan penambahan kata Sayyid pada seseorang yang dianggap agung dalam agama Islam sudah biasa dan dicontohkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri untuk menghormati hambanya yang memiliki kedudukan yang agung juga tidak segan-segan memanggilnya dengan Sayyid. Sebagaimana yang terlihat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ

“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan (pemimpin), menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (Surat Ali ‘Imran Ayat 39)

Lafaz shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

Bacaan shalawat tersebut didasarkan pada Hadits riwayat Bukhari dan Ahmad. Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnah menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut.

Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri rahimahullah menyatakan:

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ

Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).

Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya. Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan: “Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”

Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.

ARGUMEN PIHAK YANG TIDAK MENAMBAH KATA SAYYID

Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain:

ARGUMEN PERTAMA :

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا تســيدونى فى ا لصلاة

“Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.”

SANGGAHAN :

Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang yang paling fasihnya orang Arab dalam bertutur kata.

Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata :

ســـاد –يســود

yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi yang benar, yakni :

لاتــســودونى    bukan : لاتســيدونى

Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan:

”Adapun hadits ”Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat’,  adalah hadits batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin”.

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.

Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

ARGUMEN KEDUA :

 Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه

“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”

SANGGAHAN :

Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa alaihis salam sebagai Tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya, ini tidak berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain.

Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan:

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wasallam sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai Tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu”.

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat.

ARGUMEN KETIGA :

Hadits dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, berkata:

أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل

“Seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah radliallahu ‘anhu seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(HR. Ahmad)

 SANGGAHAN :

Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi,

“Demi Allah bahwasanya aku tidak suka siapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.”

Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi:

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”

Dengan demikian, menyebut kata sayyidina kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam.

Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini?.

Jawabanya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa alaihis salam sebagai Tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu:

“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

ARGUMEN KEEMPAT :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut berbunyi:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

Bacaan shalawat tersebut didasarkan pada Hadits riwayat Bukhari. Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah dzikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah dzikir dalam shalat selain dzikir yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Hadits Riwayat Bukhari Nomor 6705, dan Ad-Darimi Nomor 1225 dari Malik bin Al Huwairits radliallahu ‘anhu)

SANGGAHAN :

Menambah dzikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata:

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول

 “Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda: “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menambah sebuah dzikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai dzikir tersebut. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah dzikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur.

Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan : “ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) dzikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila dzikir itu tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur”.

Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan dzikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.

Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah

حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ -وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا – وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

 “Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menambahkan: ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (HR. Bukahri 22 dan Syafi’i 23)

 Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”.

Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya? Jawabannya adalah sebagai berikut:

Pertama, Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya?

Kedua, Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah dzikir dalam shalat seperti perkataan sayyidina dalam tasyahud.

KESIMPULAN :

Mengucapkan sayyidina, adalah perkara khilafiyah ijtihadiyah yang tidak boleh dijadikan bahan persengketaan. Mengucapkan sayyidina di luar maupun di dalam shalat adalah boleh menurut pendapat yang kuat dan ini adalah pendapat umumnya ulama.

Namun bila tidak ditambah sayyidinapun juga tidak masalah dan tidak perlu mengingkari pendapat yang enggan memakainya, kecuali mereka mempersoalkan dengan menuduh bid’ah dan sesat maka tidak ada salahnya bila kita menentang pendapat tersebut dengan dasar mencegah perpecahan umat sebab mereka tidak menghargai pendapat umat yang lebih memilih membaca sayyidina pada nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

sumber : sunni

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *