Pro Kontra Dzikir Dengan Suara Keras

Pandangan golongan yang melarang dzikir dengan suara keras

Ada sebagian umat Islam yang memakruhkan, mengharamkan dan bahkan membid’ahkan dzikir, do’a dan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan suara keras. Mereka yang membid’ahkan dzikir, do’a dan membaca Al-Qur’an dengan suara keras mendasarkan hujjah kepada dalil-dalil berikut ini;

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur”. (Surat Al-An’am Ayat 63)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

“yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (Surat Maryam Ayat 3)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Surat Luqman Ayat 19)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

“Katakanlah: “Serulah (berdoalah kepada) Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (Surat Al-Isra’ Ayat 110)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ

“dari [Abu Musa Al Asy’ariy radliallahu ‘anhu] berkata; Kami pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan apabila menaiki bukit kami bertalbiyah dan bertakbir dengan suara yang keras. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya”. (Hadits Bukhari Nomor 2770 dan Muslim no. 2704)

BANTAHAN :

Mayoritas ulama yang membolehkan dzikir dengan suara keras mendasarkan pendapatnya dengan dalil yang terbilang juga tidak sedikit. Di antaranya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan hambanya dalam berdzikir dengan mengeraskan suaranya. Sebagaimana firman-Nya,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Di dalam rumah-rumah Allah diizinkan meninggikan* (mengagungkan) suara untuk berdzikir dengan menyebut nama-Nya dalam mensucikan-Nya sepanjang pagi dan petang.”( Surat An-Nur Ayat 36)

*Kata “turfa” (تُرْفَعَ) adalah mengangkat, meninggikan, atau mengeraskan suara. Dalam sebagian terjemah diartikan “dimuliakan”

Mereka yang membolehkan dzikir dan doa dengan suara keras menolak pandangan golongan yang melarang dzikir dengan suara keras dengan beberapa argumen berikut;

Argumentasi Pertama : Larangan keras hanya berlaku periode awal Islam

Ayat-ayat dan Hadits-hadits yang terkesan melarang dzikir dan doa dengan suara keras tersebut sudah dibatalkan oleh ayat dan hadits-hadits yang membolehkan dzikir, doa, dan membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Sebab larangan tersebut hanya berlaku di mana masa-masa awal penyebaran agama Islam. Di mana pada masa awal Islam tersebut jumlah umat Islam masih sedikit sehingga bila umat Islam berdzikir dengan suara keras akan beresiko memancing ketidak sukaan dan permusuhan dari orang-orang kafir. Sehingga Nabi dalam berdakwah masih dengan cara sembunyi-sembunyi. Pandangan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا } قَالَ نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخْتَفٍ بِمَكَّةَ كَانَ إِذَا صَلَّى بِأَصْحَابِهِ رَفَعَ صَوْتَهُ بِالْقُرْآنِ فَإِذَا سَمِعَهُ الْمُشْرِكُونَ سَبُّوا الْقُرْآنَ وَمَنْ أَنْزَلَهُ وَمَنْ جَاءَ بِهِ فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ } أَيْ بِقِرَاءَتِكَ فَيَسْمَعَ الْمُشْرِكُونَ فَيَسُبُّوا الْقُرْآنَ { وَلَا تُخَافِتْ بِهَا } عَنْ أَصْحَابِكَ فَلَا تُسْمِعُهُمْ { وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا }

“dari [Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma] mengenai firman Allah: “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya…, ” (Al Israa: 110). Ibnu Abbas berkata; ayat ini turun ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sembunyi-sembunyi di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bila mengimami shalat para sahabatnya, beliau mengeraskannya saat membaca al Qur`an. Tatkala orang-orang musyrik mendengarkan hal itu, mereka mencela al Qur`an, mencela yang menurunkannya dan yang membawakannya. Maka Allah Azza Wa Jalla berfirman kepada NabiNya: (Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu) maksudnya adalah dalam bacaanmu sehingga orang-orang musyrik mendengarnya dan mereka mencela Al-Qur’an dan: Dan janganlah pula merendahkannya dari para sahabatmu sehingga mereka tidak dapat mendengarkan dan mengambil Al-Qur’an darimu dan: Maka carilah jalan tengah di antara kedua itu. (Hadits Bukhari Nomor 4353, Hadits Muslim Nomor 677, dan Hadits Nasai Nomor 1001)

Perintah untuk melirihkan suara saat ibadah hanya berlaku saat dakwah Nabi di Makkah sebelum beliau Hijrah ke Madinah. Sebab saat itu kaum kafir Makkah merasa terganggu dengan ibadah para sahabat yang mengeraskan suara. Hal ini juga terlihat jelas yang dialami oleh sahabat Abu Bakar. Di mana Abu Bakar mendapat intimidasi dari kaum kafir Makkah sebab dia beribadah shalat, dzikir, dan doa dengan suara keras dan menangis. Sebagaimana riwayat hadits berikut,

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا يَوْمٌ إِلَّا يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَفَيْ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَرْكَ الْغِمَادِ لَقِيَهُ ابْنُ الدَّغِنَةِ وَهُوَ سَيِّدُ الْقَارَةِ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ يَا أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجَنِي قَوْمِي فَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَسِيحَ فِي الْأَرْضِ فَأَعْبُدَ رَبِّي قَالَ ابْنُ الدَّغِنَةِ إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَخْرُجُ وَلَا يُخْرَجُ فَإِنَّكَ تَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ وَأَنَا لَكَ جَارٌ فَارْجِعْ فَاعْبُدْ رَبَّكَ بِبِلَادِكَ فَارْتَحَلَ ابْنُ الدَّغِنَةِ فَرَجَعَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فَطَافَ فِي أَشْرَافِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ لَا يَخْرُجُ مِثْلُهُ وَلَا يُخْرَجُ أَتُخْرِجُونَ رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَأَنْفَذَتْ قُرَيْشٌ جِوَارَ ابْنِ الدَّغِنَةِ وَآمَنُوا أَبَا بَكْرٍ وَقَالُوا لِابْنِ الدَّغِنَةِ مُرْ أَبَا بَكْرٍ فَلْيَعْبُدْ رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَلْيُصَلِّ وَلْيَقْرَأْ مَا شَاءَ وَلَا يُؤْذِينَا بِذَلِكَ وَلَا يَسْتَعْلِنْ بِهِ فَإِنَّا قَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا قَالَ ذَلِكَ ابْنُ الدَّغِنَةِ لِأَبِي بَكْرٍ فَطَفِقَ أَبُو بَكْرٍ يَعْبُدُ رَبَّهُ فِي دَارِهِ وَلَا يَسْتَعْلِنُ بِالصَّلَاةِ وَلَا الْقِرَاءَةِ فِي غَيْرِ دَارِهِ ثُمَّ بَدَا لِأَبِي بَكْرٍ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَبَرَزَ فَكَانَ يُصَلِّي فِيهِ وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَتَقَصَّفُ عَلَيْهِ نِسَاءُ الْمُشْرِكِينَ وَأَبْنَاؤُهُمْ يَعْجَبُونَ وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَجُلًا بَكَّاءً لَا يَمْلِكُ دَمْعَهُ حِينَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ أَشْرَافَ قُرَيْشٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَرْسَلُوا إِلَى ابْنِ الدَّغِنَةِ فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا لَهُ إِنَّا كُنَّا أَجَرْنَا أَبَا بَكْرٍ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ وَإِنَّهُ جَاوَزَ ذَلِكَ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَأَعْلَنَ الصَّلَاةَ وَالْقِرَاءَةَ وَقَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا فَأْتِهِ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَعَلَ وَإِنْ أَبَى إِلَّا أَنْ يُعْلِنَ ذَلِكَ فَسَلْهُ أَنْ يَرُدَّ إِلَيْكَ ذِمَّتَكَ فَإِنَّا كَرِهْنَا أَنْ نُخْفِرَكَ وَلَسْنَا مُقِرِّينَ لِأَبِي بَكْرٍ الِاسْتِعْلَانَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَتَى ابْنُ الدَّغِنَةِ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ قَدْ عَلِمْتَ الَّذِي عَقَدْتُ لَكَ عَلَيْهِ فَإِمَّا أَنْ تَقْتَصِرَ عَلَى ذَلِكَ وَإِمَّا أَنْ تَرُدَّ إِلَيَّ ذِمَّتِي فَإِنِّي لَا أُحِبُّ أَنْ تَسْمَعَ الْعَرَبُ أَنِّي أُخْفِرْتُ فِي رَجُلٍ عَقَدْتُ لَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنِّي أَرُدُّ إِلَيْكَ جِوَارَكَ وَأَرْضَى بِجِوَارِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ بِمَكَّةَ

“bahwa [‘Aisyah radliallahu ‘anha] berkata; “Aku belum lagi baligh ketika bapakku sudah memeluk Islam dan tidak berlalu satu haripun melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang menemui kami di sepanjang hari baik pagi ataupun petang. Ketika Kaum Muslimin mendapat ujian, Abu Bakar keluar berhijrah menuju Habasyah (Ethiopia) hingga ketika sampai di Barkal Ghomad dia didatangi oleh Ibnu Ad-Daghinah seorang kepala suku seraya berkata; “Kamu hendak kemana, wahai Abu Bakar?” Maka Abu Bakar menjawab: “Kaumku telah mengusirku maka aku ingin keliling dunia agar aku bisa beribadah kepada Tuhanku”. Ibnu Ad-Daghinah berkata: “Seharusnya orang seperti anda tidak patut keluar dan tidap patut pula diusir karena anda termasuk orang yang bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran. Maka aku akan menjadi pelindung anda untuk itu kembalilah dan sembahlah Tuhanmudi negeri kelahiranmu. Maka Ibnu Ad-Daghinah bersiap-siap dan kembali bersama Abu Bakar lalu berjalan di hadapan Kafir Quraisy seraya berkata, kepada mereka: “Sesungguhnya orang seperti Abu Bakar tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir. Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?” Akhirnya orang-orang Quraisy menerima perlindungan Ibnu Ad-Daghinah dan mereka memberikan keamanan kepada Abu Bakar lalu berkata, kepada Ibnu Ad-Daghinah: “Perintahkanlah Abu Bakar agar beribadah menyembah Tuhannya di rumahnya saja dan shalat serta membaca Al Qur’an sesukanya dan dia jangan mengganggu kami dengan kegiatannya itu dan jangan mengeraskannya karena kami telah khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap anak-anak dan isteri-isteri kami“. Maka Ibnu Ad-Daghinah menyampaikan hal ini kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar mulai beribadah di rumahnya dan tidak mengeraskan shalat bacaan Al Qur’an diluar rumahnya. Kemudian AbuBakar membangun tempat shalat di halaman rumahnya sedikit melebar keluar dimana dia shalat disana dan membaca Al Qur’an. Lalu istrei-isteri dan anak-anak Kaum Musyrikin berkumpul disana dengan penuh keheranan dan menanti selesainya Abu Bakar beribadah. Dan sebagaimana diketahui Abu Bakar adalah seorang yang suka menangis yang tidak sanggup menahan air matanya ketika membaca Al Qur’an. Maka kemudian kagetlah para pembesar Quraisy dari kalangan Musyrikin yang akhirnya mereka memanggil Ibnu Ad-Daghinah ke hadapan mereka dan berkata, kepadanya: “Sesungguhnya kami telah memberikan perlindungan kepada Abu Bakr agar dia mberibadah di rumahnya namun dia melanggar hal tersebut dengan membangun tempat shalat di halaman rumahnya serta mengeraskan shalat dan bacaan padahal kami khawatir hal itu akan dapat mempengaruhi isteri-isteri dan anak-anak kami dan ternyata benar-benar terjadi. Jika dia suka untuk tetap beribadah di rumahnya silakan namun jika dia menolak dan tetap menampakkan ibadahnya itu mintalah kepadanya agar dia mengembalikan perlindungan anda karena kami tidak suka bila kamu melanggar perjanjian dan kami tidak setuju bersepakat dengan Abu Bakar”. Berkata, ‘Aisyah radliallahu ‘anha: Maka Ibnu Ad-Daghinah menemui Abu Bakar dan berkata: “Kamu telah mengetahui perjanjian yang kamu buat, maka apakah kamu tetap memeliharanya atau mengembalikan perlindunganku kepadaku karena aku tidak suka bila orang-orang Arab mendengar bahwa aku telah melanggar perjanjian hanya karena seseorang yang telah aku berjanji kepadanya”. Maka Abu Bakar berkata: “Aku kembalikan jaminanmu kepadamu dan aku ridho hanya dengan perlindungan Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejadian ini adalah di Makkah.” (Hadits Bukhari Nomor 2134 dan  (Hadits Bukhari Nomor 3616)

Dengan begitu, berdasarkan riwayat Hadits tersebut, Hadits-Hadits tentang larangan berdzikir dengan suara keras telah batal sebab jumlah umat Islam sudah banyak dan bila berdzikir dengan suara keras di zaman setelah umat Islam menjadi umat mayoritas di Makah dan Madinah pada zaman Nabi sudah tidak menjadi fitnah bila dzikir dilakukan dengan suara keras. Begitu juga ketika saat ini umat Islam sudah menyebar di seluruh dunia, maka hukumnya sunnah bila dzikir dan doa dilakukan dengan suara keras untuk sarana mengingatkan dan syiar.

Argumentasi Kedua :Larangan keras terletak pada berteriak yang tidak sopan

Bila difahami dalil larangan berdoa dan berdzikir dengan suara keras mengandung maksud bukanlah kerasnya suara, namun letak larangannya lebih kepada teriak-tiraknya sehingga di samping menimbulkan kebisingan bagi pendengarnya, juga terkesan tidak sopan di hadapan Allah. Sebab Allah bukanlah dzat yang tuli. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

“Katakanlah: “Serulah (berdoalah kepada) Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (Surat Al-Isra’ Ayat 110)

Bila memperhatikan ayat di atas bukan hanya suara keras yang dilarang, dzikir tanpa suarapun juga dilarang. Itu artinya bahwa maksud keras di dalam ayat tersebut lebih tepat dimaknai sebagai suara berteriak. Sehingga, larangan tersebut mungkin bukan pada kerasnya namun pada teriakannya. Jadi, selama tidak berdo’a dan berdzikir tidak berteriak-teriak maka suara keraspun dibolehkan. Inilah yang dikehendaki dengan beberapa makna dalil berikut,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf: 205).

Berarti yang tidak diperbolehkan adalah berdo’a dan berdzikir dengan berteriak-teriak karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak tuli. Keras dan lantangnya suara selama masih dalam koridor kesyahduan, kelembutan, kekhusuan, kesopanan dan ketawadu’an, maka boleh boleh saja.

Argumentasi Ketiga : Larangan bila sifatnya mengganggu

Membaca Al-Qur’an juga masih tergolong sebagai amalan dzikir, sebab dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat dzikir. Walaupun ada ayat yang menyatakan agar berdoa dan berdzikir dengan suara pelan, namun perintah Nabi untuk merendahkan suara saat dzikir dan doa tersebut konteksnya adalah ketika bacaan keras tersebut telah mengganggu pihak lain.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menegur para sahabat yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras sebab terdapat sahabat lainnya yang sedang bermunajat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di Masjid, lalu beliau menedengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.” (Hadits Abu Daud Nomor 1135)

Lebih khusus lagi larangan dalam membaca Al-Qur’an, dzikir, dan berdoa dengan suara keras adalah manakala terdapat orang yang sedang shalat di sekitar kita. Namun sebenarnya hadits ini maksudnya bukan melarang suara keras, sebab boleh saja seseorang berdzikir dengan suara keras walaupun ada orang yang sedang shalat di sekitar kita, dengan catatan suara kerasnya tidak sampai merusak konsentrasi shalat seseorang tersebut. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَنْظُرْ مَا يُنَاجِيهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

“bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui para sahabatnya, dan saat itu, mereka sedang menunaikan shalat, sedangkan suara bacaan mereka saling meraung satu sama lain. Maka beliau pun bersabda: “Seorang yang menunaikan shalat, pada hakekatnya sedang bermunajat kepada Rabb-nya ‘azza wajalla. Karena itu, hendaknya setiap orang mencermati doa yang dibacanya, dan janganlah salah seorang di antara kalian mengeraskan bacaan terhadap saudaranya yang lain.” (Hadits Ahmad Nomor 18249)

Pada prinsipnya boleh membaca dengan keras walaupun ada orang shalat didekatnya selama tidak mengganggu. Jadi, membaca Al-Qur’an, dzikir, maupun berdoa tidak masalah dengan mengeraskan suara baik di rumah maupun di masjid dengan catatan tidak mengganggu pihak lain. Atau sudah menjadi kebiasaan dan kesepakatan bahwa di lingkungan tersebut suka rela mendengar dzikir dan doa dengan suara keras.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Dalam sebuah riwayat Hadits Aisyah radliallahu ‘anha berkata,

عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِالْقُرْآنِ أَوْ يُخَافِتُ بِهِ قَالَتْ رُبَّمَا جَهَرَ وَرُبَّمَا خَافَتَ قُلْتُ اللَّهُ أَكْبَرُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي هَذَا الْأَمْرِ سَعَةً

“dari [Ghudlaif bin Al Harits] ia berkata, “Aku mendatangi [‘Aisyah] dan bertanya; apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan bacaan Al Qur’annya, atau membacanya dengan pelan? Ia menjawab: “Kadang dengan keras dan kadang dengan pelan. ” Aku berkata, “Maha Besar Allah, segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan urusan ini luas. ” (Hadits Ibnu Majah Nomor 1344 dan Hadits Nasai Nomor 1644)

Dengan begitu, bila bacaan keras kita tidak mengganggu dan lingkungan sudah menerima sebab sudah menjadi kebiasaan maka sangat dianjurkan untuk berdzikir, berfoa, dan membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Baik di siang hari maupun di malam hari. Baik di rumah maupun di masjid dan tempat-tempat umum. Disamping bacaan kita sebagai peringat bagi orang lain juga merupakan sarana syi’ar agama Islam. Sebagaimana pujian Nabi bagi mereka yang mengeraskan suara saat membaca Al-Qur’an,

أَنَّ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَقَرَأَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالْقُرْآنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْحَمُ اللَّهُ فُلَانًا كَأَيٍّ مِنْ آيَةٍ أَذْكَرَنِيهَا اللَّيْلَةَ كُنْتُ قَدْ أَسْقَطْتُهَا

“bahwa seorang laki-laki sedang mengerjakan shalat malam, lalu membaca Al Qur’an dengan mengangkat (mengeraskan) suaranya, keesokan harinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati fulan, dia telah mengingatkanku terhadap ayat Al Qur’an yang aku lupa ayat tersebut.” (Hadits Abu Daud Nomor 1134)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ

“Orang yang membaca Qur’an dengan suara keras bagaikan orang yang bersedekah secara terang-terangan, dan orang yang membaca Qur’an dengan pelan-pelan, seperti orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi.” (Hadits Nasai Nomor 2514, Hadits Tirmidzi Nomor 2843, dan Hadits Ahmad Nomor 17128)

Sudah sangat jelas sekali bahwa larangan bersuara keras dalam dzikir hanya ketika dirasa menganggu orang yang sedang Istirahat atau orang yang sedang shalat. Jadi menggunakan suara kerasa atau pelan dalam membaca Al-Qur’an, dzikir, dan doa sifatnya sangat kondisional. Tergantung dengan perbedaan situasi dan kondisi masing-masing lingkungannya. Jadi bila sebagian golongan Salafi mempersoalan suara keras dalam dzikir sangatlah tidak berdasar, mengada-ada, dan dusta dalam agama.

Argumentasi Keempat :Bertentangan dengan banyak dalil yang membolehkan suara keras

Ayat dan Hadits yang terkesan melarang umat Islam berdzikir dan berdoa dengan suara keras bertentangan dengan banyak dalil yang jelas-jelas memerintahkan umat Islam untuk berdoa dan berdzikir dengan suara keras namun tetap sopan dan syahdu. Dalil-dalil tersebut bertentangan dengan banyak dalil di bawah ini yang mana Nabi memperbolehkan berdoa, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan ibadah sunnah mutlak lainnya dengan suara keras. Berikut beberapa dalil di mana umat Islam boleh memilih beribadah sunah mutlak dengan suara keras,

جَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ فَإِنَّهَا مِنْ شَعَائِرِ الْحَجِّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, suruh para sahabatmu mengeraskan suara talbiyah karena ia adalah syi’ar haji (agama). ” (HR. Ahmad No. 20689)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَأَى نَاسٌ نَارًا فِي الْمَقْبَرَةِ فَأَتَوْهَا فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقَبْرِ وَإِذَا هُوَ يَقُولُ نَاوِلُونِي صَاحِبَكُمْ فَإِذَا هُوَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالذِّكْرِ

“Orang-orang melihat cahaya di sebuah kuburan, kemudian mereka mendatanginya, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam kuburan dan beliau berkata: “Serahkan kepadaku sahabat kalian!” Ternyata ia adalah seorang laki-laki yang mengeraskan suara ketika berdzikir.” (HR. Abu Daud No. 2751)

Nabi berdzikir setelah shalat dengan suara keras,

Golongan Salafi sangat keras sekali menentang bacaan dzikir menggunakan suara keras setelah shalat jamaah di masjid. Mereka mengatakan bahwa berdzikir dengan suara keras setelah shalat itu tidak boleh dan merupakan bid’ah. Namun kenyataannya hal ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengeraskan suara dzikir setelah selesai menunaikah shalat fardlu terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“bahwa [Ibnu ‘Abbas] radliallahu ‘anhuma mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir setelah orang selesai menunaikah shalat fardlu terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku mendengarnya.” (Hadits Bukhari Nomor 796 dan Hadits Abu Daud Nomor 851)

كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

“[Ibn Zubair] sering memanjatkan do’a; (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengeraskan suara dengan kalimat ini setiap selesai shalat. ” (HR. Muslim No. 935)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Bahwa mengeraskan suara dzikr sehabis shalat wajib, terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” kata Abu Ma’bad; Ibn Abbas mengatakan; “Akulah yang paling tahu tentang hal itu, ketika mereka telah selesai (mengerjakan shalat), sebab aku pernah mendengarnya.” (Hadits Muslim Nomor 919)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ

“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara (dzikir) takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap habis selesai shalat berjamaah, kemudian membaca doa dengan mengeraskan suara yang terdengar oleh semua jamaah. Hal ini dikisahkan dalam hadits berikut :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِوَادِي الْأَزْرَقِ فَقَالَ أَيُّ وَادٍ هَذَا فَقَالُوا هَذَا وَادِي الْأَزْرَقِ قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام هَابِطًا مِنْ الثَّنِيَّةِ وَلَهُ جُؤَارٌ إِلَى اللَّهِ بِالتَّلْبِيَةِ ثُمَّ أَتَى عَلَى ثَنِيَّةِ هَرْشَى فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا ثَنِيَّةُ هَرْشَى قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى يُونُسَ بْنِ مَتَّى عَلَيْهِ السَّلَام عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ جَعْدَةٍ عَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ خِطَامُ نَاقَتِهِ خُلْبَةٌ وَهُوَ يُلَبِّي قَالَ ابْنُ حَنْبَلٍ فِي حَدِيثِهِ قَالَ هُشَيْمٌ يَعْنِي لِيفًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melalui sebuah Lembah al-Azraq. Beliau bertanya: “Lembah apakah ini?” Para Sahabat menjawab, “Inilah Lembah al-Azraq. ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku seakan-akan memandang kepada Nabi Musa yang sedang menuruni sebuah bukit sambil memohon dari Allah dengan suara yang keras melalui talbiyah. ” Kemudian ketika sampai di Bukit Harsya beliau pun bertanya: “Bukit apa ini?” Para Sahabat menjawab, “Bukit Harsya. ” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seolah-olah aku melihat Yunus bin Matta berada di atas seekor unta gemuk berwarna merah yang dilengkapi dengan kain bulu dan tali kekang untanya sementara dia sentiasa bertalbiah. ” Ibnu Hanbal berkata dalam Haditsnya, “Husyaim berkata, ‘Yaitu sabut spons’. ” (HR. Muslim No. 241)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

“dari [Abu Zubair] katanya; Seusai shalat setelah salam, [Ibn Zubair] sering memanjatkan do’a; LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA’BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA’UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA.” (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengeraskan suara dengan kalimat ini setiap selesai shalat.” (Hadits Muslim Nomor 935)

Ada pula hadits yang meyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdzikir dengan suara keras setelah shalat. Hadit itu diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abza dari ayahnya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ ثُمَّ يَرْفَعُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat witir dengan membaca surah Al A’laa, surah Al Kaafiruun, dan surah Al lkhlas. Setelah salam beliau membaca: `Subhanal malikil qudduus” tiga kali, dan pada yang ketiga kalinya beliau memanjangkan dan mengeraskan suaranya.” (Hadits Nasai Nomor 1733)

Maka sebagian orang yang menyangka bahwa berdzikir dengan suara keras setelah shalat itu merupakan hal yang bertentangan dengan sunnah adalah prasangka yang salah dan dusta. Sebab perkara ini telah terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan biasa dilakukan oleh para sahabat secara bersama-sama di masjid. Dan tidak ada hadits atau riwayat satupun yang menceritakan protes dari sahabat bahwa ini salah atau bid’ah. Namun suara keras di sini tidak berarti berteriak sehingga menganggu orang lain, melainkan tetap seperlunya saja.

Nabi sering bedoa dan berdikir dengan suara keras di berbagai tempat dan kesempatan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap habis selesai shalat berjamaah, kemudian membaca doa dengan mengeraskan suara yang terdengar oleh semua jamaah. Hal ini dikisahkan dalam hadits berikut :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِوَادِي الْأَزْرَقِ فَقَالَ أَيُّ وَادٍ هَذَا فَقَالُوا هَذَا وَادِي الْأَزْرَقِ قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام هَابِطًا مِنْ الثَّنِيَّةِ وَلَهُ جُؤَارٌ إِلَى اللَّهِ بِالتَّلْبِيَةِ ثُمَّ أَتَى عَلَى ثَنِيَّةِ هَرْشَى فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا ثَنِيَّةُ هَرْشَى قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى يُونُسَ بْنِ مَتَّى عَلَيْهِ السَّلَام عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ جَعْدَةٍ عَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ خِطَامُ نَاقَتِهِ خُلْبَةٌ وَهُوَ يُلَبِّي قَالَ ابْنُ حَنْبَلٍ فِي حَدِيثِهِ قَالَ هُشَيْمٌ يَعْنِي لِيفًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melalui sebuah Lembah al-Azraq. Beliau bertanya: “Lembah apakah ini?” Para Sahabat menjawab, “Inilah Lembah al-Azraq. ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku seakan-akan memandang kepada Nabi Musa yang sedang menuruni sebuah bukit sambil memohon dari Allah dengan suara yang keras melalui talbiyah. ” Kemudian ketika sampai di Bukit Harsya beliau pun bertanya: “Bukit apa ini?” Para Sahabat menjawab, “Bukit Harsya. ” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seolah-olah aku melihat Yunus bin Matta berada di atas seekor unta gemuk berwarna merah yang dilengkapi dengan kain bulu dan tali kekang untanya sementara dia sentiasa bertalbiah. ” Ibnu Hanbal berkata dalam Haditsnya, “Husyaim berkata, ‘Yaitu sabut spons’. ” (HR. Muslim No. 241)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

“dari [Abu Zubair] katanya; Seusai shalat setelah salam, [Ibn Zubair] sering memanjatkan do’a; LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA’BUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA’UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA.” (Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengeraskan suara dengan kalimat ini setiap selesai shalat.” (Hadits Muslim Nomor 935)

Boleh berdoa, dengan suara keras ketika memimpin doa:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hari saat beliau keluar minta turunnya hujan. Beliau kemudian menghadap ke arah kiblat dengan menghadapkan punggungnya ke arah manusia, beliau lalu berdoa sambil membalikkan kain selendangnya. Setelah itu beliau mengimami kami shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan. ” (HR. Bukhari No. 969)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

أَهْلَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ خَالِصًا لَا نَخْلِطُهُ بِعُمْرَةٍ فَقَدِمْنَا مَكَّةَ لِأَرْبَعِ لَيَالٍ خَلَوْنَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ فَلَمَّا طُفْنَا بِالْبَيْتِ وَسَعَيْنَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَجْعَلَهَا عُمْرَةً وَأَنْ نَحِلَّ إِلَى النِّسَاءِ فَقُلْنَا مَا بَيْنَنَا لَيْسَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ عَرَفَةَ إِلَّا خَمْسٌ فَنَخْرُجُ إِلَيْهَا وَمَذَاكِيرُنَا تَقْطُرُ مَنِيًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَبَرُّكُمْ وَأَصْدَقُكُمْ وَلَوْلَا الْهَدْيُ لَأَحْلَلْتُ فَقَالَ سُرَاقَةُ بْنُ مَالِكٍ أَمُتْعَتُنَا هَذِهِ لِعَامِنَا هَذَا أَمْ لِأَبَدٍ فَقَالَ لَا بَلْ لِأَبَدِ الْأَبَدِ

“Kami mengeraskan suara bacaan niat untuk mengerjakan haji saja bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa mencampurnya dengan niat umrah. Dan kami tiba di Mekkah pada malam keempat bulan Dzulhijjah. Maka ketika kami thawaf di Baitullah, dan Sa’i antara Shafa dan Marwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas memerintahkan kami untuk menjadikannya sebagai umrah dan segera berkumpul dengan para istri kami. Maka kami saling berkata; ‘Antara kita kini dari hari Arafah hanya tersisa lima hari. Apakah kita harus pergi ke sana (Arafah) sedangkan kemaluan kita mengucurkan mani (kita tengah berhadast)? ‘ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku adalah orang yang paling baik dan jujur di antara kalian, seandainya tidak ada (al hadyu), niscaya akan kubolehkan (untuk melakukannya). ‘ Suraqah bin Malik bertanya; ‘Apakah haji Tamattu’ kami hanya diwajibkan untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak tetapi untuk selamanya’. (HR. Ibnu Majah No. 2971)

Talbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan suara keras

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ الظُّهْرَ أَرْبَعًا وَالْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ وَسَمِعْتُهُمْ يَصْرُخُونَ بِهِمَا جَمِيعًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat Zhuhur di Madinah empat raka’at dan shalat ‘Ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at. Dan aku mendengar mereka melakukan talbiyah dengan mengeraskan suara mereka pada keduanya (hajji dan ‘umrah). (HR. Bukhari No. 1447)

Nabi biasa membaca Al-Qur’an dan berdzikir dengan nada indah dan keras

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ

Tidaklah Allah memberikan izin untuk melakukan sesuatu sebagaimana Allah memberikan izin kepada seorang Nabi yang indah suaranya memperindah bacaan al-Qur’an, dan mengeraskannya. ” (HR. Abu Daud No. 1259, HR. Darimi No. 1450)

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ لِلذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ وَأَسْمَعُهُ

“Mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai dari shalat fardlu itu telah di lakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Ibnu Abbas mengatakan; “Aku mengetahuinya ketika mereka selesai melakukan itu dan aku juga mendengarnya.” (Hadits Abu Daud Nomor 851)

Bukti bahwa dalam beribadah bisa dikreasi sesuai dengan situasi dan kondisi selama tidak merubah esensi ibadahnya tujuan ta’lim,

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ عَلَى نَاقَةٍ لَهُ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفَتْحِ أَوْ مِنْ سُورَةِ الْفَتْحِ قَالَ فَرَجَّعَ فِيهَا قَالَ ثُمَّ قَرَأَ مُعَاوِيَةُ يَحْكِي قِرَاءَةَ ابْنِ مُغَفَّلٍ وَقَالَ لَوْلَا أَنْ يَجْتَمِعَ النَّاسُ عَلَيْكُمْ لَرَجَّعْتُ كَمَا رَجَّعَ ابْنُ مُغَفَّلٍ يَحْكِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لِمُعَاوِيَةَ كَيْفَ كَانَ تَرْجِيعُهُ قَالَ آ آ آ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Pernah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pembebasan Mekkah di atas untanya membaca surat al Fath, atau sebagian dari surat al Fath. ” Abdullah bin Mughaffal berkata, “Lantas beliau mengulang-ulang suaranya dan mengeraskannya. “Kemudian Mu’awiyah membaca dengan menirukan bacaan Abdullah bin Mughaffal seraya berkata, “Kalaulah manusia tidak berkumpul kepada kalian, niscaya aku mengulang-ulang bacaan dan mengeraskannya sebagaimana Ibnu Mughaffal mengulang-ulang dan mengeraskan bacaan ketika menirukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ” Maka aku katakana kepada Mu’awiyah, “Bagaimana beliau mengulang-ulang dan mengeraskan bacaannya?” Mu’awiyah menjawab, “Dengan mengucapkan AAA (dengan bacaan panjang enam harakat), AAA (dengan bacaan panjang enam harakat), AAA (dengan bacaan panjang enam harakat), beliau ucapkan tiga kali. ” (HR. Bukhari No. 6986)

Nabi berdoa dengan menghadap kiblat, mengangkat tangan, dan mengeraskan suara

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ

“Saat terjadi perang Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat pasukan orang-orang Musyrik berjumlah seribu pasukan, sedangkan para sahabat beliau hanya berjumlah tiga ratus Sembilan belas orang. Kemudian Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya ke arah kiblat sambil menengadahkan tangannya, beliau berdo’a: “ALLAHUMMA ANJIS LII MAA WA’ADTANI, ALLAHUMMA AATI MAA WA’ADTANI, ALLAHUMMA IN TUHLIK HAADZIHIL ‘ISHAABAH MIN AHLIL ISLAM LA TU’BAD FIL ARDLI (Ya Allah, tepatilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, berilah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan Islam yang berjumlah sedikit ini musnah, niscaya tidak ada lagi orang yang akan menyembah-Mua di muka bumi ini). ‘Demikianlah, beliau senantiasa berdo’a kepada Rabbnya dengan mengangkat tangannya sambil menghadap ke kiblat, sehingga selendang beliau terlepas dari bahunya. ” (HR. Muslim No. 3309)

Boleh berdoa, berdzikir atau bertakbir dengan suara keras ketika memimpin rombongan Haji

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَانِي جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي وَمَنْ مَعِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِهْلَالِ أَوْ قَالَ بِالتَّلْبِيَةِ يُرِيدُ أَحَدَهُمَا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkanku agar memerintahkan para sahabatku dan orang-orang yang bersamanya agar mengeraskan suara mereka ketika bertahlil atau beliau mengatakan dengan talbiyah. ” Beliau menginginkan salah satu darinya. (HR. Abu Daud No. 1548)

Nabi bersenandung dengan mengeraskan suaranya

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْقُلُ التُّرَابَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى أَغْمَرَ بَطْنَهُ أَوْ اغْبَرَّ بَطْنُهُ يَقُولُ وَاللَّهِ لَوْلَا اللَّهُ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا إِنَّ الْأُلَى قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ أَبَيْنَا أَبَيْنَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ikut mengangkuti tanah pada perang Khandaq, hingga perutnya penuh debu-atau perutnya berdebu-, beliau bersabda: ‘Ya Allah, seandainya bukan karena-Mu, maka kami tidak akan mendapatkan petunjuk, tidak akan bersedekah dan tidak akan melakukan shalat, maka turunkanlah ketenangan kepada kami, serta kokohkan kaki-kaki kami apabila bertemu dengan musuh. Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berlaku semena-mena kepada kami, apabila mereka menghendaki fitnah, maka kami menolaknya. ‘Beliau menyenandungkan itu sambil mengeraskan suaranya. ” (HR. Bukhari No. 3795)

Boleh Menyebut Asma Allah Dengan Suara Keras Ketika Adzan

Adzan bagian dari amaliah dalam Islam, ia juga termasuk ke dalam bacaan-bacaan dzikir yag digunakan untuk mengajak orang shalat jamaah. Ketika mengumandangkan adzan tentu dibolehkan bersuara keras baik dengan naik ke menara atau menggunakan loud speaker. Nabi bersabda,

إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ لِلصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Aku lihat kamu hobi menggembala kambing dan alam pedusunan, jika engkau berada di tengah-tengah kambing gembalaanmu, lalu engkau mengumandangkan adzan (shalat), maka keraskanlah suaramu. Sebab tidaklah jin, manusia, atau sesuatu yang mendengar suara mu`adzin kecuali mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (Hadits Bukhari Nomor 6993)

Syubhat syariat

Jadi sudah sangat jelas bahwa banyak dalil yang mengisyaratkan bolehnya berdzikir dan berdoa dengan suara keras. Namun apabila golongan Salafi yang mempersoalkan dengan alasan bahwa hal tersebut dilarang dan tidak ada dalilnya atau tidak pernah dicontohkan Nabi. Maka tuduhan itulah sejatinya bid’ah yang nyata. Sebab pengertian (hakikat) bid’ah sejatinya adalah kedustaan atas nama agama dengan melarang atau memerintahkan suatu perkara yang sebetulnya dibebaskan oleh agama. Pengertian ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan, maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal, maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)-nya” (Hadits hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya)

Diperkuat dengan makna Hadits berikut,

الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

“Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya, dan apa yang Dia diamkan adalah sesuatu yang Dia maafkan.”. (HR. Ibnu Majah No. 3358)

Islam itu sangat luas dan leluasa! Jadi sangat salah bila golongan Salafi mempersempit dan mempersulit urusan agama Islam dengan  mudah mengatakan ini tidak boleh dan itu tidak boleh, ini bid’ah dan itu bid’ah tanpa dalil dan hanya menggunakan logika mereka saja. Perhatikan saja jawaban Aisyah yang ditanya cara ibadah Nabi oleh para sahabat Nabi, kemudia Aisyah menjawab bahwa semua model cara ibadah pernah dilakukan Nabi, sebab urusan agama Islam sangat luas dan leluasan. Sebagaimana sebuah riwayat Hadits berikut,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ هُوَ رَجُلٌ بَصْرِيٌّ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ وِتْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ كَانَ يُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ أَوْ مِنْ آخِرِهِ فَقَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَصْنَعُ رُبَّمَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَرُبَّمَا أَوْتَرَ مِنْ آخِرِهِ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً فَقُلْتُ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَتُهُ أَكَانَ يُسِرُّ بِالْقِرَاءَةِ أَمْ يَجْهَرُ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ قَدْ كَانَ رُبَّمَا أَسَرَّ وَرُبَّمَا جَهَرَ قَالَ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً قُلْتُ فَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِي الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَوْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ فَرُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً

“dari [Abdullah bin Abu Qais] seorang penduduk Bashrah, ia berkata; Aku bertanya kepada [‘Aisyah] tentang shalat witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Bagaimana beliau shalat witir, apakah di permulaan malam atau di akhirnya?” ‘Aisyah menjawab; “Semua itu pernah beliau lakukan, kadang beliau shalat witir di awal malam dan kadang shalat witir di akhirnya.” Aku berkata; “Segala puji bagi Allah yang memberikan keleluasaan dalam masalah ini, lalu aku bertanya; “Bagaimana bacaan beliau? Apakah beliau membaca lirih atau dengan suara keras?” ‘Aisyah menjawab; “Semua itu juga pernah beliau lakukan, kadang beliau membaca lirih dan kadang dengan suara keras.” Aku berkata; “Segala puji bagi Allah yang memberikan keleluasaan dalam masalah ini.” Aku bertanya lagi; “Bagaimana yang beliau lakukan ketika jinabat? Apakah beliau mandi sebelum tidur atau tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab; “Semua itu juga pernah beliau lakukan, kadang beliau mandi lalu tidur dan kadang wudlu lalu tidur.” Aku menjawab; “Segala puji bagi Allah yang memberikan keleluasaan dalam masalah ini.” (Hadits Tirmidzi Nomor 2848)

Sudah sangat jelas, bahwa dalam agama di samping ada wilayah haram (yang dilarang) dan halal (yang dianjurkan) juga ada wilayah netral (didiamkan). Di mana tata cara pelaksanaan amaliah dan ibadah yang sifatnya netral tersebut hukumnya mubah dan diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam.

Jadi bilama ada segolongan Salafi membid’ahkan, dengan begitu dakwahan merekalah yang sejatinya bid’ah. Maksud bid’ah di sini adalah bahwa mereka telah berbohong atas nama Agama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (Surat An-Nahl Ayat 105)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا

حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ. مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (Surat An-Nahl Ayat 116-117)

Jadi mudah menuduh bid’ah dengan mudah mengharamkan perkara yang dibebaskan merupakan kelancangan terhadap wewenang Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surat Al-Hujurat Ayat 1)

Jadi tuduhan mereka yang membid’ahkan mengeraskan suara membaca Al-Qur’an, dzikir dan doa merupakan perkara bid’ah yang batal dan batil.

Penutup

Demikianlah bukti membid’ah-bid’ahkan amalan ibadah dengan lebih memilih (mengkhususkan) suara keras hanya menggunakan sepotong dalil bertema bid’ah dan mengabaikan dalil lainnya yang lebih khusus, merupakan argumentasi yang sangat lemah serta merupakan kebohongan dalam masalah agama. Karena banyak dalil yang menunjukkan kebolehan mengamalkan dan mengkreasikan ibadah sunnah mutlak dengan suara keras.

Oleh: KH. Ainur Rofiq Sayyid Ahmad

sumber : Sunni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *