Kitab Riyadus Sholihin karya Al Imam Al ‘Alamah al Muhaddits, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an Nawawi ad Dimasqi as Syafi’I, atau dikenal dengan nama Imam Nawawi. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Nawa dekat Damsyik, Suriah pada tahun 631 H dan wafat di desanya sendiri pada tahun 676 H pada usia 45 tahun. Meskipun beliau belum sempat menikah seumur hidupnya, namun sebagai penghormatan, kaum muslimin tetap menggelarinya ‘Abu Zakaria’, yang menggambarkan seolah-olah beliau pernah memiliki seorang putra.

Sesuai dengan namanya, kitab Riyadus Shalihin merupakan kitab yang lebih banyak membahas tentang akhlak yang baik sebagai pondasi dasar hidup orang-orang yang shalih. Kalaupun ada bahasan tentang fiqih maka tidak dibahas secara lebih detail oleh Imam Nawawi. Dalam metode penulisannya, Imam Nawawi mengemukakan ayat al-Qur’an terlebih dahulu pada setiap awal pembahasan kitab atau bab. Kemudian dikemukakan beberapa buah hadits sebagai pendukungnya. Di dalam kitab ini Imam Nawawi menulis tidak kurang dari 1900 hadis. Hadits-hadits tersebut diakui oleh Imam Nawawi dikutip dari Kutubussittah (enam kitab hadits utama), sehingga menjamin tidak ada hadits dhoif (lemah) dalam kitabnya.
Sanjungan dan Kritik
Yayat Ruhyadi dalam blognya “Kisah Penuh Hikmah” menulis resensi kitab Riyadush Shalihin. Menurutnya. walau sudah berjuta orang yang menyanjung Imam Nawawi dengan kitab Riyadus Shalihin nya, ternyata ada juga segolongan kecil orang-orang yang mulai mengkritisi kitab beliau. Munculnya kritikan atas Riyadus Shalihin memang terjadi hanya pada sepuluh tahun terakhir ini saja. Kritikan bermula dari seorang ulama di Timur Tengah asal Albania, yang membongkar pasang hadis-hadis terpilih dalam kitab tersebut. Nama ulama itu adalah Muhammad Nashiruddin al Albani. Beliau menulis sebuah buku yang berjudul Riyadus Shalihin yang katanya ditahqiq oleh jamaah dari ulama-ulama, dan di-takhrij-kan oleh Muhammad Nasiruddin al Albani sendiri. Judul yang ditulis di dalam kitabnya itu adalah Riyadus Shalihin, Jamiul Huquq Mahfuzhoh lil Maktabil Islami, cetakan Maktabul Islami, Beirut.
Dalam kitabnya ini, Albani telah mendhoifkan sebanyak 40 buah hadis, yang kesemuanya telah dinyatakan shahih atau minimal hasan shahih oleh Imam Nawawi. Hasil kutipan beliau dari perawi-perawi kitab yang enam antara lain; Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ke-40 hadis didhoifkan Albani tersebut antara lain: Hadis nomor 67, 201, 292, 347, 363, 378, 413, 486, 490, 524, 583, 589, 601, 717, 736, 794, 802, 834, 894, 895, 896, 917, 951, 954, 1007, 1067, 1393, 1394, 1402, 1501, 1547, 1577, 1585, 1649, 1654, 1679, 1686, 1731, 1863, dan 1882 kesemuanya ada 40 hadis.(Lihat mukaddimah al Albani, halaman 11).
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa al Albani dan para pengikutnya secara tegas telah melarang keras mengutip dan mengamalkan hadis-hadis dho’if. Dengan demikian, maka orang-orang yang membaca kitab-kitab mereka akan dikhawatirkan akan terpengaruh, dan mengikuti faham mereka. Muaranya, mereka akan menganggap enteng semua hadis yang dinyatakan dhoif dari kitab Riyadhus Shalihin itu. Sesuatu yang sebenarnya dapat merugikan amalan umat.
Langkah al Albani ini telah diikuti pula oleh ulama-ulama Timur Tengah seperti DR. Musthafa Said al Khin, Muhidin Mistu dan kawan-kawan dengan judul “Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadis Shalihin min Kalami Sayidil Mursalin”, dua jilid tebal. Juga Salim bin Ied al Hilali, salah seorang murid al Albani yang juga mengarang kitab berjudul “Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadis Shalihin”. Kesemua kitab-kitab syarah ini bertaqlid kepada Muhammad Nashiruddin al Albani, baik dalam takhrij hadis maupun dalam metode pensyarahannya.
Dari Timur Tengah, gerakan kritik ini menjalar juga ke Indonesia. Meskipun sampai saat ini belum ada pengikut Albani Indonesia yang berani menampilkan diri sebagai pensyarah kitab, tetapi mereka gigih menterjemahkan kitab-kitab kelompok pengkritik, dan menerbitkannya dalam edisi bahasa Indonesia, antara lain ‘Nudzatul Muttaqin’ diterjemahkan oleh Muhil Dhorir, disunting oleh Abdul Hakim, dan diterbitkan oleh Al-I’tishom tahun 2005. Sedangkan Bahjatul Nazhirin diterjemahkan M. Abdul Ghaffar dan diedit oleh Ustad Mubarak BM Bamuallim Lc, dan diterbitkan oleh Pustaka Imam As Syafi’i. Belakangan Nuzhatul Muttaqin diterbitkan kembali dalam cetakan terbaru yang diterjemahkan oleh Ibnu Sunarto dan Aunurrofiq Sholeh Tamhid, dengan Penerbit Rabbani Press. Cetakan ini menyertakan takhrij hadis oleh Nashiruddin al Albani.
Sementara di dalam pensyarahan isi kitabnya, para pengkritik tanpa malu-malu meninggalkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah al Asy’ari dari pembahasannya, bila bertemu dengan masalah-masalah yang menyangkut aqidah terutama yang membahas sifat-sifat Allah. Dengan tegas mereka menuliskan bahwa Allah punya muka, tangan, kaki, duduk di ‘Arasy, naik, turun, bertempat di langit dan lain-lain sebagainya. Hanya saja dengan tambahan kata bahwa sifat-sifat Allah tersebut tidak serupa dengan sikap makhluk-Nya. Jauh bedanya dengan Imam Nawawi dan Syekh Muhammad ‘Allan dalam Dalilul Falihin-nya, yang menta’wilkan sifat-sifat mutasyabihat kepada sifat-sifat muhkamat.
Sedangkan dalam pembahasan masalah fiqih, Al Hilali misalnya, dengan tegas mengatakan dalam mukaddimah kitabnya, bahwa beliau tidak mengambil dari sumber kitab fiqih yang ada, (tentu termasuk fiqih madzhab Syafi’i, salah satu dari madzhab yang empat), tetapi langsung mengambil kepada Qur’an dan hadis-hadis yang shahih saja. Tetapi jika diperlukan, katanya dia akan merujuk pada pendapat Syekh Ibnu Taymiyah dan muridnya Syekh Ibnu Qayyim al Jauziyah, sebagai rujukan utama. Padahal seluruh ulama Indonesia tahu betul bahwa kedua Syekh tersebut adalah pendiri dan guru besar dalam madzhab Salafi, di mana banyak fatwa dan ajarannya tak sejalan dengan keempat madzhab yang ada, terutama madzhab Syafi’i, yang dianut Imam Nawawi dan mayoritas umat Islam Indonesia. Dalam kaidah ilmu, tindakan mensyarahkan kitab seseorang dengan melawan isi dan pemikiran penulis asli, adalah tindakan yang tercela!
Tidak heran bila akhir-akhir ini mulai timbul ‘riak-riak’ kecil di masyarakat dan timbul pertengkaran mengenai amalan mereka yang tiba-tiba dinyatakan dho’if bahkan bid’ah oleh pengikut dan pembaca yang mulai terpengaruh dengan kitab-kitab para pengkritik ini.
Yayat mengaku mencoba meneliti kitab yang ditulis oleh Nasiruddin al Albani dan al Hilali kemudian membandingkannya dengan Riyadus Shalihin asli yang dikarang oleh Imam Nawawi, maka ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya, al Albani telah mendhoifkan atas sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim pada nomor 1654. Berlawanan dengan itu, pada hadis Muslim, nomor hadis 1063, tentang kitab kejadian alam yang memakan masa 7 hari, al Al bani justru membela hadis ini, meskipun matannya, menurut al Baihaqi dan lainnya dinilai ta’arudh (bertentangan) dengan makna ayat Qur’an yang mengatakan kejadian alam itu 6 hari. Al Albani juga memunkarkan hadis nomor 894 yang telah dishahihkan oleh Imam Nawawi.
Namun begitu, ada juga hadis-hadis yang dihasan-shohihkan dalam kitab asli Imam Nawawi justru menurut al Albani dan Al Hilali naik derajat menjadi shahih, di antaranya hadis nomor 521 dan 584.
Yayat juga mendapati ada juga kekeliruan al Albani dalam penulisan kitabnya, dimana beliau mengatakan pada mukaddimah kitabnya bahwa hadis nomor 490 adalah dhoif, ternyata di dalam isi kitab, yang dhoif adalah nomor 488, bukan nomor 490. Sebuah keteledoran yang tidak layak terjadi atas seorang sekaliber beliau.
Nampaknya, perjuangan al Albani mendhoifkan 40 hadis dalam kitab Riyadus Shalihin mulai luntur sebelum mencapai waktu satu dasawarsa. Pertama, justru datang dari muridnya sendiri, Salim ‘Ied Al Hilali yang dengan nyata-nyata mengatakan bahwa beberapa hadis yang didhoifkan dalam kitab Riyadus Shalihin ternyata memiliki hadis-hadis penyokong lain yang menyebabkan derajatnya naik menjadi hadis hasan lizatihi atau hadis hasan li ghoirihi.
Belum lagi para ulama pengikut empat mazhab yang mulai bangkit dan memberikan perlawanan atas para pengkritik tersebut. Salah satunya adalah Syaikh Hasan Ali Syaqqaf asal Suriah, dalam kitabnya Tanaqhudhat al Albani al Wadhihah (Plin-plannya al Albani). Syekh Utsaimin, ulama besar Saudi Arabia, turut juga mengkritik al Albani dalam kitabnya ‘Syarah Aqidah Washithiyah’. Sementara di tanah air, terbit buku berjudul “Membongkar Kebohongan ‘Buku Mantan Kiyai NU Menggugat Shalawat Syirik’” Ditulis oleh LBM Nahdhatul Ulama, Jember, Muhyiddin Abdul Shomad dkk.
Bagi sobat yang ingin memiliki kitab “Riyadush Shalihin’ ini silahkan download di sini
Indahnya berbagi, semoga tulisan Kitab Riyadus Sholihin ini bermamfaat. Sobat dipersilahkan untuk mencopas di blog atau web sobat dengan tetap mencantumkan link tulisan ini sebagai sumber, syukron
Sumber : Kang Nasir Abi